Selasa, 26 Mei 2015

Membuat First Chapter yang Menarik, Begini Caranya!

Banyak penulis yang gagal memikat penerbit, karena bagian awal naskahnya tidak menggemaskan. Padahal first chapter bisa dikatakan sebagai penentu apakah editor --yang di mejanya bertumpuk naskah-naskah yang harus dibaca—mau membaca naskahnya hingga akhir cerending yang luar biasa keren.
ita atau tidak. Jika tidak, percumalah anda membuat

Sebelum itu terjadi, mari kita perhatikan beberapa hal berikut

Editor bahkan siapapun pembacanya tidak akan menyukai bagian awal yang njelimet.
Jangan pernah membuat susunan kalimat atau paragraf yang njelimet. Bertele-tele atau pengulangan dari paragraf sebelumnya. Hindarkan juga penggunaan istilah yang tidak umum, yang mungkin hanya anda dan pasangan LDR anda saja yang tahu artinya. 

Jangan terlalu polos juga. Gunakan diksi yang tepat. Jika perlu gunakan beberapa majas semisal metafora atau personifikasi untuk memperindah kalimat anda.
Misal: ‘Malam menjelang, bulan nampak menghiasi langit. Beberapa anak tengah berlari menuju surau untuk mengaji’. Anda bisa menggunakan ‘Gema adzan berkumandang ke seluruh penjuru alam. Saat dewi malam mulai keluar dari peraduannya, saat itulah beberapa anak mulai berlari menuju surau guna memperdalam ilmu agama yang dimilikinya’.

Perhatikan Proporsi Narasi dan Dialog
Ingatlah hal yang berlebihan adalah tidak baik. Begitupun proporsi narasi maupun dialog dalam bagian awal naskah kamu. Ingatlah narasi yang terlalu panjang tanpa dialog akan membuat pembacamu jengah. Begitupun naskah yang hanya dialog saja. Andaikan di awal cerita kamu harus menjelaskan karakter tokohmu dengan detail, kamu bisa menyelipkannya dalam dialog yang terjadi antar tokoh.

Kalau kata bos penerbitan Jogja yang menggemaskan, percuma meski kau punya pesan moral yang berguna atau ending yang keren, jika di awal naskah saja pembaca enggan melanjutkan membaca chapter berikutnya. So, buatlah first chapter yang menarik dan menggemaskan. 
Senin, 25 Mei 2015

Kalau Kamu Masih Penulis Pemula Kamu Wajib Promosi Buku!

Disadari atau tidak promosi adalah bagian terpenting dalam setiap penjualan. Apapun itu. Ya, nggak terkecuali untuk urusan perbukuan. Urusan yang bisa dibilang sedang lemah, letih, lesu dan lunglai.  

Promosi yang tepat dan jleb di hati akan membuat sebuah buku meledak di pasaran. Namun promosi yang sakitnya tuh disana akan membuat buku kamu nggak selaku buku disana.

Berbicara tentang promosi, hampir sekitar 70-80% penulis malas melakukannya. Yang ada di pikiran mereka hanya sekedar menulis dan menulis. Menurut gue, mungkin mereka terinspirasi kata-kata seorang penulis besar yang mengatakan, ‘Menulislah setiap hari walau hanya satu halaman’.

Jadi ya jadi, kerjaan penulis hanya menulis. Nggak salah sih, tapi coba kalau kata-kata itu diganti menjadi ‘Menjuallah, walau hanya satu eksemplar sehari’. Jadi kan enak kalau sebulan ada tambahan buku yang laku sebanyak 30 eksemplar.

Penulis kadang lupa memperkenalkan karya mereka sendiri kepada public. Sedikit beruntung bagi mereka yang karyanya diterbitkan penerbit-penerbit besar macam grupnya Gramed, Agro atau Mizan. Mereka sudah ditopang kekuatan marketing khusus dari pihak penerbit maupun distributor. Ditambah kecenderungan di toko buku yang selalu mendisplay produk mereka di rak khusus. Udah khusus, paling depan pula!

Meski begitu, tetap saja ada beberapa rekan penulis yang karyanya diterbitkan penerbit besar tadi menggenjot penjualannya dengan melakukan promosi sendiri. Mereka melakukan berbagai cara agar karya mereka makin dikenal masyarakat, dan pada akhirnya masyarakat itu tertarik dan mau membeli karyanya.

Lain cerita dengan orang-orang yang menerbitkan karya mereka dengan jalur indie. Jalur yang menurut orang paling gampang karena nggak melalui proses penilaian yang ketat, serta jalur yang bisa dibilang semulus jalan tol, karena 110% karya penulisnya akan terbit. 

Hampir 95% orang yang berada di jalur indie, kurang bahkan jarang melakukan promosi terhadap bukunya. Hal itu diperparah oleh para self/vanity/indie publisher nya yang lebih cenderung mempromosikan paket-paket penerbitannya ketimbang melakukan promosi karya para penulisnya. Kalaupun ada usaha promosi itu hanya dilakukan di beberapa hari awal buku tersebut terbit atau rilis.

Implikasinya, kalau penerbitnya tidak mempromosikan bukunya, terus penulisnya pun 11-12 karena malas, tidak tahu, atau mungkin tidak mau mempromosikan bukunya tersebut bagaimana mungkin buku tersebut bisa ada yang beli? Bagaimana mungkin modal awal untuk membayar biaya penerbitan yang cukup besar tersebut bisa kembali. Kalau saja paket penerbitannya adalah 600ribu, dan royalti perbuku adalah Rp. 4.000,- tentu buku tersebut harus laku minimal 150 eks untuk dapat break event point. Lebih jauhnya lagi bagaimana mungkin pemikiran serta mamfaat-mamfaat yang ingin disampaikan penulis bisa tersampaikan kepada banyak orang. Bukankah, ada seorang penulis lain yang mengatakan menginspirasi banyak orang adalah tujuan terpenting dari sebuah buku?

Lalu apa sih yang harus dilakukan agar buku kita bisa terjual di pasaran? Jawabannya ya, promosi tadi. Promosi dengan cara efektif dan efisien. Bisa dilakukan secara hemat via sosmed, bisa bikin give away, dan juga cara-cara lain yang gila. Untuk soal ini gue akan bahas di artikel ini

Intinya jangan mengharapkan ada penjualan, jika promosi saja malas. Teman saya pernah cerita, "Malas banget deh sama tuh penulis. Dia nanyain terus royalti bukunya, tapi pas gue stalk di timeline nya nggak ada satu post sama tweet pun yang ngepromoin bukunya!"

  

Ketika Happy Ending Menjadi Pilihan

Dalam kehidupan nyata, setiap manusia senantiasa menginginkan hasil yang terbaik dalam berbagai hal. Meski ada adagium yang menasbihkan proses adalah yang terpenting, namun tetap saja hasil akhir yang indah yang selalu diharapkan.

Begitupun dalam kisah-kisah dalam novel, sinetron, ftv, maupun film, ending yang bahagia adalah yang dapat memuaskan penonton atau pembaca. Terkadang penonton atau pembaca akan terbawa emosi dan menganggap jelek penulis ketika ending yang dihasilkan tak membahagiakan tokohnya.

Maka yang terjadi berikutnya jangan pernah salahkan penerbit ketika 90% naskah yang diterbitkan penerbit mayor adalah cerita dengan akhir bahagia. Karena memang orientasi bisnis adalah sesuai dengan permintaan pasar.

Buat yang kaum mainstream mungkin nggak masalah, toh memang kebahagiaan adalah hal yang dicari. Meski kadang-kadang masih di tengah cerita  kita sudah bisa menebak endingnya mau seperti apa. Meski ceritanya muter-muter, ya endingnya tetep begitu.

Membuat cerita yang happy ending nggak ada salahnya sama sekali. Apalagi kalau kamu mampu mengelabui pembaca. Buat kejutan tak terduga di bagian akhir cerita. Anggap misal dengan memunculkan tokoh yang tersembunyi yang menggantikan tokoh lain. Buat akhir yang bahagia untuk mereka dengan cara yang tak terduga.

Atau kamu bisa merubah esensi kebahagiaan itu sendiri. Dalam cerita-cerita roman, kebanyakan akhir yang bahagia adalah dua pasangan yang bersatu setelah melalui berbagai rintangan yang pelik. Coba, kamu rubah esensi kebahagiaan lainnya buat si tokoh. Toh, kebahagiaan bukan hanya soal pasangan. Bisa juga soal keluarga, ketenangan dan ketentraman, mencapai puncak karir atau sebagainya. Gunakan opsi tersebut untuk membuat ceritamu Happy ending tanpa harus mempersatukan tokoh cerita.

Oya, buat opsi memunculkan kejutan dengan tokoh baru atau tersembunyi, kamu tetap harus perhatikan korelasi ceritanya. Sebab-akibat kenapa tokoh tersebut bisa muncul. Jangan asal taruh karena semata-mata kamu ingin membuat happy ending yang tak terduga.  
Rabu, 13 Mei 2015

Tehnik Mengirimkan Tulisan Ke Penerbit atau Media Massa

Tehnik ini bisa dikatakan tehnik yang mudah dan gampang dilakukan. Hanya saja tidak semua orang ingat dan mau melakukan hal ini. Dalam mengirimkan tulisan (by e-mail) ke penerbit atau koran kita dituntut mengerti 'etika maupun tata krama tidak tertulis' yang pada dasarnya bertujuan membuat editor maupun redaktur surat kabar merasa dihargai dan lebih memudahkan pekerjaanya.

Berikut hal-hal yang harus diperhatikan ketika kamu ngirim e-mail berisi naskah ke penerbit atau surat kabar:

1. Perhatikan Nama File
Memang tidak ada acuan yang sama di setiap penerbit maupun surat kabar mengenai Nama File. Biasanya Nama File yang diinginkan adalah Judul Naskah_Nama Penulis atau sebaliknya. Akan tetapi nggak sedikit penulis yang kurang memperhatikan hal tersebut. Biasanya nama file yang disimpan adalah beberapa kata pertama dari document word nya. Penyebabnya setelah pencet Ctrl+S atau F12 langsung aja enter tanpa merubah nama file nya. Secara subtansi nama file memang bukan poin penilaian utama. Bisa dikatakan hanya syarat normatif saja. Tapi bukankah kita bisa mulai menarik hati editor dengan nama file yang sesuai dengan ketentuan yang ditentukan?Lha nama file aja nggak diperhatiin, apalagi ejaan didalam naskah!’
Hal lain adalah ketika naskah kamu sudah diunduh oleh redaktur, lalu bercampur dengan ratusan file lain dalam folder download. Kebayang kan, apa yang akan dilakukan redaktur tadi?

2. Subyek e-mail
Jangan menganggap subyek e-mail sebagai formalitas saja yang bisa diisi atau dikosongkan sesuka hati. Terkadang redaktur naskah maupun admin e-mail kayak temen gue suka bingung saat menerima e-mail tanpa subyek apapun atau tanpa subyek yang jelas. Biasanya sebuah penerbit selalu mencantumkan subyek e-mail yang harus diisi jika kita ingin mengirim naskah. Usahakan sesuaikan dengan ketentuan ya. Sama sekali nggak sulit kok.Dan nggak makan waktu lama J

3. Badan e-mail
Jangan pernah mencantumkan hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan maksud dan tujuan kita mengirimkan naskah. Usahakan juga untuk mengisi badan e-mail ini dengan singkat dan tak bertele-tele. Berikut contoh yang biasa saya isikan ketika mengirimkan naskah.

            Kepada Yth
            Redaktur Vinanda Publishing
            Di Tempat

           Bersama e-mail ini saya kirimkan naskah berjudul Tips dan Trik Agar Naskah Tembus Penerbit 
           Saya mengharapkan naskah ini sesuai kebutuhan Vinanda Publishing, 

            Best Regard,
            Yogi – 085759xxxxxxxx

Kadang ada yang suka menuliskan alamat, nomor rekening, maupun data diri lainnya. Namun, sebaiknya hal-hal tersebut dicantumkan dalam biodata di akhir naskah saja.


Nah itu dia hal-hal penting yang harus kamu perhatika saat mengirim naskah ke penerbit atau media massa. 
Jumat, 08 Mei 2015

Variasi Point of View Orang Pertama dalam Menulis Novel

Seperti yang saya pernah jelaskan dalam blog Jalan-jalan, Main, Nulis tentang Tips  Memilih Sudut Pandang Dalam Menulis Novel, dalam artikel ini saya ingin menjelaskan variasi-variasi yang ada dalam penggunaan sudut pandang orang pertama.



Variasi pertama adalah berdasarkan jumlah tokoh atau pelaku. Ada penulis yang menggunakan satu tokoh saja dan ada penulis yang menggunakan satu tokoh saja namun jamak. Biasanya jika hanya menggunakan satu tokoh tunggal saja penulis menggunakan kata aku, saya, gue dan sebagainya. Namun ketika menggunakan PoV orang pertama jamak, maka penulis akan menggunakan kata kami atau kita secara konsisten dari awal sampai akhir ceritanya.

Berbeda dengan variasi pertama, di variasi berikutnya ini ada penulis yang menggunakan PoV orang pertama tunggal, namun berbeda-beda tokoh dalam setiap bab maupun situasi nya. Kata yang digunakan penulis tetap sama semacam saya, ana, gue dan sebagainya. Namun, yang membedakan dengan variasi pertama diatas, pada variasi ini penulis menggunakan kata saya, ana, atau gue itu untuk 2 atau lebih tokoh yang berbeda.

Untuk novel terjemahan barat, penggunaan variasi kedua ini sudah cukup banyak. Di Indonesia sendiri salah satu novel yang gue suka adalah novel adaptasi Mama Cake karya Moemoe Rizal. Dalam novel tersebut penulis pure menggunakan PoV orang pertama tunggal. Namun di setiap bab novel tersebut tokoh utama yang diceritakan Moemoe berbeda. Di bab pertama tokoh Aku itu menceritakan sosok Raka, seorang idealis yang masih berada di bawah kaki ayahnya sendiri. Lanjut ke bab berikutnya sentral penceritaan berpindah kepada Willy seorang playboy yang cukup sukses. Di bab berikutnya sosok 'aku', 'gue', 'ana', 'saya' yang menjadi pusat penceritaan PoV orang pertama beralih kepada Rio yang merupakan seorang seniman sableng. Begitu seterusnya hingga novel tersebut berakhir.

Menurut saya, penggunaan PoV orang pertama variasi kedua jauh lebih memudahkan penulis dalam menulis ceritanya. Penulis tidak perlu memposisikan dirinya menjadi seorang dewa seperti yang ada dalam sudut pandang orang ketiga. Namun posisi penulis pun tak terbatas hanya pada satu tokoh atau karakter saja.

Tertarik denga artikel ini? Silahkan share ke akun media sosialmu. Nantikan tips berikutnya dari saya. Seseorang yang belum menjadi apa-apa dan belum menulis apa-apa.