Senin, 25 Mei 2015

Disadari atau tidak promosi adalah bagian terpenting dalam setiap penjualan. Apapun itu. Ya, nggak terkecuali untuk urusan perbukuan. Urusan yang bisa dibilang sedang lemah, letih, lesu dan lunglai.  

Promosi yang tepat dan jleb di hati akan membuat sebuah buku meledak di pasaran. Namun promosi yang sakitnya tuh disana akan membuat buku kamu nggak selaku buku disana.

Berbicara tentang promosi, hampir sekitar 70-80% penulis malas melakukannya. Yang ada di pikiran mereka hanya sekedar menulis dan menulis. Menurut gue, mungkin mereka terinspirasi kata-kata seorang penulis besar yang mengatakan, ‘Menulislah setiap hari walau hanya satu halaman’.

Jadi ya jadi, kerjaan penulis hanya menulis. Nggak salah sih, tapi coba kalau kata-kata itu diganti menjadi ‘Menjuallah, walau hanya satu eksemplar sehari’. Jadi kan enak kalau sebulan ada tambahan buku yang laku sebanyak 30 eksemplar.

Penulis kadang lupa memperkenalkan karya mereka sendiri kepada public. Sedikit beruntung bagi mereka yang karyanya diterbitkan penerbit-penerbit besar macam grupnya Gramed, Agro atau Mizan. Mereka sudah ditopang kekuatan marketing khusus dari pihak penerbit maupun distributor. Ditambah kecenderungan di toko buku yang selalu mendisplay produk mereka di rak khusus. Udah khusus, paling depan pula!

Meski begitu, tetap saja ada beberapa rekan penulis yang karyanya diterbitkan penerbit besar tadi menggenjot penjualannya dengan melakukan promosi sendiri. Mereka melakukan berbagai cara agar karya mereka makin dikenal masyarakat, dan pada akhirnya masyarakat itu tertarik dan mau membeli karyanya.

Lain cerita dengan orang-orang yang menerbitkan karya mereka dengan jalur indie. Jalur yang menurut orang paling gampang karena nggak melalui proses penilaian yang ketat, serta jalur yang bisa dibilang semulus jalan tol, karena 110% karya penulisnya akan terbit. 

Hampir 95% orang yang berada di jalur indie, kurang bahkan jarang melakukan promosi terhadap bukunya. Hal itu diperparah oleh para self/vanity/indie publisher nya yang lebih cenderung mempromosikan paket-paket penerbitannya ketimbang melakukan promosi karya para penulisnya. Kalaupun ada usaha promosi itu hanya dilakukan di beberapa hari awal buku tersebut terbit atau rilis.

Implikasinya, kalau penerbitnya tidak mempromosikan bukunya, terus penulisnya pun 11-12 karena malas, tidak tahu, atau mungkin tidak mau mempromosikan bukunya tersebut bagaimana mungkin buku tersebut bisa ada yang beli? Bagaimana mungkin modal awal untuk membayar biaya penerbitan yang cukup besar tersebut bisa kembali. Kalau saja paket penerbitannya adalah 600ribu, dan royalti perbuku adalah Rp. 4.000,- tentu buku tersebut harus laku minimal 150 eks untuk dapat break event point. Lebih jauhnya lagi bagaimana mungkin pemikiran serta mamfaat-mamfaat yang ingin disampaikan penulis bisa tersampaikan kepada banyak orang. Bukankah, ada seorang penulis lain yang mengatakan menginspirasi banyak orang adalah tujuan terpenting dari sebuah buku?

Lalu apa sih yang harus dilakukan agar buku kita bisa terjual di pasaran? Jawabannya ya, promosi tadi. Promosi dengan cara efektif dan efisien. Bisa dilakukan secara hemat via sosmed, bisa bikin give away, dan juga cara-cara lain yang gila. Untuk soal ini gue akan bahas di artikel ini

Intinya jangan mengharapkan ada penjualan, jika promosi saja malas. Teman saya pernah cerita, "Malas banget deh sama tuh penulis. Dia nanyain terus royalti bukunya, tapi pas gue stalk di timeline nya nggak ada satu post sama tweet pun yang ngepromoin bukunya!"

  

0 komentar:

Posting Komentar