Disadari atau tidak promosi adalah bagian terpenting
dalam setiap penjualan. Apapun itu. Ya, nggak terkecuali untuk urusan
perbukuan. Urusan yang bisa dibilang sedang lemah, letih, lesu dan lunglai.
Promosi yang tepat dan jleb di hati akan
membuat sebuah buku meledak di pasaran. Namun promosi yang sakitnya tuh disana
akan membuat buku kamu nggak selaku buku disana.
Berbicara tentang promosi, hampir sekitar 70-80%
penulis malas melakukannya. Yang ada di pikiran mereka hanya sekedar menulis
dan menulis. Menurut gue, mungkin mereka terinspirasi kata-kata seorang penulis
besar yang mengatakan, ‘Menulislah setiap hari walau hanya satu halaman’.
Jadi ya jadi, kerjaan penulis hanya menulis. Nggak
salah sih, tapi coba kalau kata-kata itu diganti menjadi ‘Menjuallah, walau
hanya satu eksemplar sehari’. Jadi kan enak kalau sebulan ada tambahan buku
yang laku sebanyak 30 eksemplar.
Penulis kadang lupa memperkenalkan karya mereka
sendiri kepada public. Sedikit beruntung
bagi mereka yang karyanya diterbitkan penerbit-penerbit besar macam grupnya
Gramed, Agro atau Mizan. Mereka sudah ditopang kekuatan marketing khusus dari
pihak penerbit maupun distributor. Ditambah kecenderungan di toko buku yang
selalu mendisplay produk mereka di
rak khusus. Udah khusus, paling depan pula!
Meski begitu, tetap saja ada beberapa rekan penulis
yang karyanya diterbitkan penerbit besar tadi menggenjot penjualannya dengan
melakukan promosi sendiri. Mereka melakukan berbagai cara agar karya mereka
makin dikenal masyarakat, dan pada akhirnya masyarakat itu tertarik dan mau
membeli karyanya.
Lain cerita dengan orang-orang yang menerbitkan
karya mereka dengan jalur indie. Jalur yang menurut orang paling gampang karena
nggak melalui proses penilaian yang ketat, serta jalur yang bisa dibilang
semulus jalan tol, karena 110% karya penulisnya akan terbit.
Hampir 95% orang
yang berada di jalur indie, kurang bahkan jarang melakukan promosi terhadap
bukunya. Hal itu diperparah oleh para self/vanity/indie
publisher nya yang lebih cenderung mempromosikan paket-paket penerbitannya
ketimbang melakukan promosi karya para penulisnya. Kalaupun ada usaha promosi
itu hanya dilakukan di beberapa hari awal buku tersebut terbit atau rilis.
Implikasinya, kalau penerbitnya tidak mempromosikan
bukunya, terus penulisnya pun 11-12 karena malas, tidak tahu, atau mungkin
tidak mau mempromosikan bukunya tersebut bagaimana mungkin buku tersebut bisa
ada yang beli? Bagaimana mungkin modal awal untuk membayar biaya penerbitan yang
cukup besar tersebut bisa kembali. Kalau saja paket penerbitannya adalah
600ribu, dan royalti perbuku adalah Rp. 4.000,- tentu buku tersebut harus laku
minimal 150 eks untuk dapat break event
point. Lebih jauhnya lagi bagaimana mungkin pemikiran serta mamfaat-mamfaat
yang ingin disampaikan penulis bisa tersampaikan kepada banyak orang. Bukankah,
ada seorang penulis lain yang mengatakan menginspirasi banyak orang adalah
tujuan terpenting dari sebuah buku?
Lalu apa sih yang harus dilakukan agar buku kita bisa
terjual di pasaran? Jawabannya ya, promosi tadi. Promosi dengan cara efektif
dan efisien. Bisa dilakukan secara hemat via sosmed, bisa bikin give away, dan juga cara-cara lain yang gila. Untuk soal ini gue akan bahas di artikel ini
Intinya jangan mengharapkan ada penjualan, jika promosi saja malas. Teman saya pernah cerita, "Malas banget deh sama tuh penulis. Dia nanyain terus royalti bukunya, tapi pas gue stalk di timeline nya nggak ada satu post sama tweet pun yang ngepromoin bukunya!"
0 komentar:
Posting Komentar